My Journey to Feel the Light

 Andreas Darwis Triadi adalah sosok penting di dunia fotografi Indonesia. Sebagai fotografer komersial lelaki kelahiran Solo tahun 1954 ini telah melayani segala pesanan rumit dengan keterampilan rekayasa gambar sesuai dengan permintaan klien. Sementara sebagai seniman foto, ia telah melakukan pengembaraan dalam berbagai macam pendekatan fotografi sesuai dengan tuntutan idealismenya.


Kalau akhirnya kali ini Darwis meneruskan perjalanan kreatifnya dalam My Journey to Feel the Light adalah sebuah keniscayaan. Proyek ini, mendokumentasikan proses pemotretannya dalam sebuah dalam docutainment dalam format video, yang kemudian diteruskan dalam bentuk buku ini, adalah obsesinya sejak dulu. ”Paling tidak saya ingin menunjukkan bahwa saya pernah berbuat. Ini penting sebagai catatan sejarah, bukan untuk kepentingan saya pribadi, tapi untuk publik yang lebih luas,” ungkap anak keempat dari delapan bersaudara pasangan Sumantri Brotosewoyo-Sukarti ini.

Memang, ini bukan ide orisinal, sebab banyak fotografer yang sudah melakukannnya. Apalagi dengan adanya media TV yang berkembang pesat sangat mungkin proyek seperti ini sudah banyak diproduksi. Di luar negeri kita memang sudah bisa menyaksikan karya-karya dokumentasi fotografi yang bagus dan menarik. Tapi di Indonesia, lelaki yang pernah menjadi pilot di perusahaan charter flight selama 1,5 tahun sebelum memutuskan menjadi fotografer itu, sering merasa geregetan, karena fotografi hanya selintas saja, tanpa pernah menjadi fokus utama.

Mengapa Yogyakarta? Karena kota ini sudah tidak asing bagi Darwis Triadi. Pria berkumis yang dibesarkan dalam keluarga modern tapi masih kental dengan nilai-nilai Jawa ini sudah familier dengan Kota Budaya itu. Tentu Yogyakarta bukan tujuan akhir, justru titik awal untuk melangkah menggali kreativitas ke kota-kota lain di Indonesia, lokasi-lokasi yang eksotis, bahkan tidak menutup kemungkinan ke pusat-pusat keajaiban dunia.

Teknik memang penting, yang harus diketahui dan dipelajari oleh seorang fotografer untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Termasuk tuntutan teknologi mutakhir kamera digital di mana gambar bisa dihasilkan secara instan. Tapi bagi Darwis Triadi masa itu sudah terlewati. ”Tahapan yang paling tinggi itu adalah bagaimana merasakan cahaya,” kata ayah dua putri itu sambil menambahkan bahwa tiga fase yang dilalui oleh seorang fotografer adalah fix the light, see the light, dan feel the light.

Menurut Darwis, cahaya adalah unsur yang paling penting dalam fotografi. Hanya saja, ketika memotret di luar ruang (outdoor) ketika sinar matahari tidak bersahabat alias tidak sesuai yang diharapkannya, misalnya tertutup awan, banyak fotografer yang panik. “Padahal, fotograger yang baik harusnya bisa menyesuaikan diri dalam kondisi dan cuaca apa pun. Kita yang create cahaya!” ujar Darwis yang mengaku basic-nya di outdoor itu.

Melalui karyanya kali ini Darwis, yang terjun di fotografi fashion sejak 1979 itu, ingin membuktikan bahwa ia tidak hanya bisa meng-create cahaya, tapi juga menangkap objek, sehingga menghasilkan gambar dengan angle dan komposisi yang kadang-kadang tidak dipikirkan dan dilihat mata orang kebanyakan.

Di era kamera digital ini ada yang berpendapat bahwa faktor teknik tidak lagi dominan. Orang awam bisa menghasilkan gambar bagus dari kamera pocket digital dengan hanya mengikuti petunjuk yang tersedia. ”Tapi justru itulah tantangan seorang fotografer profesional,” ujar Darwis yang biasa menggunakan Canon EOS-1 Ds Mark II (16 Megapixel), kamera SLR yang tercanggih, serta kamera medium format menggunakan digital back Phase One H10 (10 Megapixel).

Selama tiga tahun terakhir ini yang namanya digital mengubah semua teknis fotografi. Darwis tidak sependapat jika dikatakan bahwa kamera digital tidak memilki nilai seni. Justru fotografer yang baik harus mau belajar dan meng-update ilmu fotografinya. Bagi Darwis, yang telah banyak memotret model dan selebriti papan atas Indonesia mulai dari Enny Sukamto hingga Kris Dayanti ini, belajar tidak mengenal batas usia, bahkan menjadi kewajiban manusia yang ingin maju dan berkembang. Ia sendiri beberapa kali mengikuti kursus lighting dan teknik kamera di Swiss dan Jerman sejak 1983 itu. Hanya saja, ”belajar fotografi itu tidak harus kepada fotografer. Saya justru belajar dari pelukis, dari dokter, dari siapa saja,” ungkap pemilik Darwis Triadi School of Photography itu.

Perjalanan ke Yogyakarta, 16 – 19 April 2005 tentu tidak sekadar menyambangi Pasar Burung Ngasem, Taman Sari, Ratu Boko, dan Pasar Prambanan. Memotret tiga model tentu bukan sekadar mengadikan wajah multi etnis mereka – Lana (22 tahun) mewakili wajah Indo, Imelda (22 tahun) yang Oriental, serta Puri (30 tahun) yang memancarkan eksotisme Jawa. My Journey to Feel the Light lebih tepat dianggap sebagai perjalanan kreatif spiritual. Perjalanan seorang fotografer yang memperlihatkan sebuah proses pemotretan objek yang berada di depannya, sampai mencari dan menentukan sendiri latar belakangnya; sehingga terbentuk suatu wawasan bahwa mereka bukanlah sekadar objek, dengan latar belakang situs bersejarah atau lingkungan sosial tertentu yang unik, tapi juga sikap hidup Darwis Triadi sebagai manusia. (Burhanuddin Abe)

0 komentar:

Posting Komentar